embroideryisfree.com — Hingga kini, faksi kepolisian belum keluarkan info sah berkaitan kematian dr Risma Aulia Lestari (ARL), mahasiswi Program Pendidikan Dokter Specialist Anastesi Fakultas Kedokteran Kampus Diponegoro yang diketemukan tidak bernyawa di dalam kamar kosnya beberapa lalu. Sampai sekarang kepolisian tetap jalankan proses penyidikan.
Sepanjang proses ini, kepolisian sudah mengecek beberapa saksi, termasuk beberapa teman seangkatan almarhum, kakak kelas almarhum dan keluarga korban, untuk kumpulkan bukti. Tentu saja kami yakin saat jalankan pekerjaannya faksi kepolisian akan berlaku professional, tanpa takut hadapi penekanan.
Walau polisi belum bernada sah hal pemicu kematian tetapi benar-benar sayang penilaian public telah dibawa jika FK Undip harus bersalah. Asas hukum yang dipakai ialah dr ARL alami pemerasan dan penghinaan (bully) yang menyebabkan berlangsungnya perlakuan bunuh diri.
Penegasan penghinaan dan bunuh diri itu tercatat terang lewat keputusan diberi tanda tangan oleh Direktur Jenderal Servis Kesehatan Kementerian Kesehatan Azhar Jaya pada 14 Agustus 2024 dalam surat nomor: TK.02.02/D/44137/2024. Surat itu sekalian memerintah RS dr. Kariadi untuk tutup Program Study Anestesi PPDS Undip.
Ringkasan awal dari Kemenkes keluar ketika Kasat Reskrim Polrestabes Semarang, Kompol Andika Dharma Sena, menjelaskan faksinya tetap mempelajari ada sangkaan penghinaan yang dirasakan korban.
Masalah semakin bertambah liar sesudah Kemenkes hentikan ijin medis Dekan FK Undip di RS dr Kariadi, diteruskan berita ‘pemalakan’ dengan besaran Rp 20 juta sampai Rp 40 juta /bulan yang sudah dilakukan pelaku-oknum dalam PPDS Anestesi di Undip.
Dalam interviu live di TVOne, jubir Kemenkes sebelumnya sempat mengaku jika data yang mereka punyai sebetulnya belum juga komplet dan masak.
Seterusnya masalah bersambung kembali dengan ‘tiba-tiba’ saja faksi keluarga ARL ‘digunakan’ untuk membikin laporan ke Polda Jawa tengah. Faksi keluarga memberikan laporan sejumlah senior korban di PPDS Undip berkaitan sangkaan pemerasan, pengancaman sampai gertakan ke korban.
Menariknya ialah dalam laporan ini tidak lagi ada dakwaan pemicu kematian sebagai bunuh diri. Faksi keluarga melapor ke Polda Jawa tengah sesudah kuasa hukumnya ganti dari Susyanto jadi Misyal Ahmad. Misyal Ahmad ini ialah kuasa hukum yang diberi oleh faksi Kemenkes ke keluarga ARL.
Semua dakwaan itu memperoleh juga tanggapan dari sepekerjaan ARL yang meng ikuti PPDS. Ketua Kelas PPDS Anastesi FK Undip Angkatan 2022 dr. Bayu Bijak Wibowo sayangkan kebanyakan informasi tidak betul dan condong bau fitnah ihwal mekanisme pendidikan residen anastesi di tempatnya mengangsu pengetahuan.
dr. Bayu akui sebelumnya sempat gantikan posisi bendahara yang pernah digenggam almarhum ARL. Dari 2x pemeriksaan di kepolisian ia cuma mengharap semua berita liar ihwal penghinaan, bunuh diri sampai pemalakan yang didakwakan terjadi ke ARL dapat selekasnya usai.
Musuh Penghinaan
Dari semua masalah yang ada sebenarnya ada benang merah yang perlu disetujui bersama jika permasalahan penghinaan jadi perhatian bersama-sama. Di dunia pendidikan, terutama kedokteran, penghinaan ini menjadi pelanggaran etik. Penghinaan ialah kejahatan yang perlu sama diperangi. Penghinaan seperti duri.
Tetapi perlu dimengerti tiap kejahatan itu sering kali temukan jalannya. Apa yang terjadi di Undip tentu saja jadi catatan penting jika mitigasi pada masalah penghinaan di dunia pendidikan tetap harus digerakkan mekanisme lebih ketat sekalian harus juga mengikutsertakan banyak faksi dengan bersama.
Berkaitan dengan pemicu kematian ARL, tentu saja kita harus banyak bersabar. Biarkanlah kepolisian jalankan pekerjaannya secara professional. Kemenkes dan Kemendikbudristek sebagai ‘orang tua’ untuk penyelenggaraan pendidikan kedokteran di perguruan tinggi telah semestinya berlaku arif.
Walau mempunyai loyalitas untuk ungkap kebenaran, tetapi Kemenkes tidak mempunyai wewenang resmi untuk umumkan sangkaan pemicu kematian secara yuridis. Kemenkes harus konsentrasi pada pekerjaan intinya jadi ‘bapak’ yang bagus di tengah-tengah Indonesia tetap kekurangan tenaga kesehatan dan dokter specialist. Seperti dikatakan Presiden Joko Widodo sekarang ini Indonesia tetap kekurangan 124 ribu dokter umum dan 29 ribu dokter specialist.
Dengan realita yang terdapat itu, masalah liar dari kematian ARL ini tentu saja menjadi faktor penghalang usaha mulia pemerintahan agar bisa cetak dokter umum dan specialist. Dapat dipikirkan kejadian ini tentu saja benar-benar mengusik fokus beberapa mahasiswa residen, mengusik servis pasien di RS dr Kariadi dan tentu saja mengusik juga semua kegiatan pendidikan kedokteran.
Jadi silahkan kita bersama-sama dan bersabar untuk menanti hasil laporan kepolisian. Seperti peribahasa “jangan bakar rumah untuk tangkap tikus”. Kami semua yakin jika kematian dr ARL sudah tersisa cedera dalam ke keluarga almarhum dan semua civitas akademisa Undip.
Jangan kembali kita sayat cedera lebih dalam tetapi silahkan kita pulihkan cedera itu dengan usaha yang terarah dan riil untuk kebaikan kita bersama, kebaikan untuk semua pendidikan kedokteran di negeri ini.
Tidak pernah lupa silahkan kita doakan supaya almarhum diampuni semua dosa dan diterima di sisi-Nya dengan baik. Sudahilah masalah liar ini.